Sekolah Dasar Negeri itu, kata sang mantan kepsek, banyak pengeluaran yang tidak jelas peruntukannya dan sulit dipertanggunjawabkan. Itu yang disebut ujung tombok.
Kata dia, bendahara sekolah harus mencari celah menutupi anggaran yang tak jelas tadi agar uang yang telah dikeluarkan bisa di bukukan jadi laporan resmi. Apalagi kalua ada instruksi datangnya mengatas namakan pejabat dari Dinas Pendidikan Kabupaten, mana ada kepsek yang berani membantah atau bertanya langsung ke Kepala Dinas Pendidikan benar atau tidak perintah utusan itu.
Beda kisah dengan Kepsek SD Negeri yang baru menjabat beberapa tahun belakangan, dia bilang begini, dirinya ketika mengikuti seleksi masih biaya mandiri. Tahun lalu, katanya ada bantuan pembiayaan dari pemerintah daerah.
Seharusnya, kata dia, pemerintah pusat yang membiayai pendidikan calon kepala sekolah bukan diserahkan kepada pemerintah daerah. Iya kalo daerah itu punya kemampuan keuangan, kalau tidak?,
Pak Kepsek yang masih menjabat ini berharap menteri pendidikan mengetahui persoalan didaerah. Menurut analisanya, kemungkinan salah satu faktor penyebab sekarang krisis calon kepala sekolah di Kabupaten Purwakarta Istimewa ini yaitu kuota yang kecil karena kemampuan anggaran pemerintah daerah sementara yang pensiun jumlahnya setiap tahun semakin banyak.
Atau bisa juga ke-enggan-an para guru mengikuti seleksi calon kepala sekolah karena tingginya biaya tak resmi dibandingkan yang resmi. Istilah mereka sudah keluar uang banyak eh…malah tidak “diluluskan” ditahap penentuan akhir. Menyakitkan !
Ada benernya juga kata mantan Kepsek diatas. Bisa jadi salah satu faktor belakangan krisis stock kepala sekolah di tingkatan SD Negeri, karena salah satu persyaratannya bisa menguras kocek. Tapi tetap tidak lulus. Rujit ! (bersambung)
*Penulis adalah wartawan