Biaya Mandiri Penyebab Keengganan Mengikuti Seleksi Calon Kepsek dan Jadi Ujung Tombok

penulis

Oleh: Jainul Abidin

Apa kabarnya pembaca, semoga selalu diberi kesehatan dan keberkahan oleh Tuhan YME. Jangan lupa ikuti protokol kesehatan 3 M. 1. Mencuci tangan pakai sabun, 2. Memakai masker, 3. Menjaga jarak.

Kita lanjut kisah mengapa banyak guru SD Negeri enggan mengikuti seleksi calon kepala (cakep) sekolah. Episode yang lalu (baca: Krisis Kepemimpinan Jabatan Kepala Sekolah di Kabupaten Purwakarta Istimewa).

Hasil penelusuran penulis, salah satu faktor utama keengganan mengikuti seleksi calon kepala sekolah (cakep) adalah karena pembiayaannya tidak ditanggung pemerintah alias biaya mandiri. Catat ! biaya mandiri.

Penulis pernah bertemu dengan seorang kepala SDN yang kini sudah pensiun dari PNS. Sang kepsek sebelum pensiun memilih mengundurkan diri dari jabatan yang semula dianggap sebuah prestise, jabatan Kepala Sekolah.

Awal menjadi Kepsek dirinya sempat merasakan sebuah kehormatan yang luar biasa baik dilingkungan kerjanya maupun dilingkungan kehidupan bertetangga. Sebab, sebutan dirinya biasa dipanggil pak guru seketika berubah menjadi pak kepsek.

Menurut pak Kepsek (mantan-red), pada zamannya ikut seleksi cakep belum ada bantuan biaya dari pemerintah, artinya semua biaya sejak dari pendaftaran hingga kelulusan, diklat dan pelantikan dan lain sebagainya ditanggung oleh yang bersangkutan dan bisa menghabiskan biaya sekitar Rp.25 juta sampai Rp.30 juta-an.

Makanya waktu itu banyak teman-temannya sesama guru yang tidak punya biaya enggan mengikuti test seleksi cakep.

Lantas apa penyebab, kok sampai mengundurkan diri dari jabatan kepala sekolah ?
“Rujit pak. Selalu jadi ujung tombok, meunang gengsi doang,”katanya sambil tersenyum kecut. Dia tersenyum kecut, penulis malah mengernyitkan dahi ada istilah ujung tombok, bukan ujung tombak sebagaimana kata familiar sering terdengar.