Apalagi dikalangan bawahannya, dia kemudian mendapat predikat sebutan “Raja”. Ternyata, predikat itulah yang membuat perubahan drastis pada dirinya. Dia lupa terhadap jatidirinya dan mungkin sempat lupa ingatan.
Ketika sahabat ini berkuasa, tak ada yang mampu membuat pribadi dan kedudukan dirinya goyah. Semua bisa diatasi. Bahkan tak sedikit rivalitasnya harus menerima kenyataan terbalik menjadi pesakitan dan tunduk dibawah telapak kakinya seperti para selir di sebuah negeri nun jauh disana yang harus “ngesot” ketika menghadap sang raja.
Kemudian sahabat ini ingin terbang lebih tinggi. Tapi gagal total, meskipun semua jaringan nyaris dia genggam. Penulis sebenarnya kagum dengan tekadnya. Gagal di satu tempat dia coba ditempat lain dan berhasil. Tuhan masih memberikan “mainan” menarik pada dirinya menjadi orang dengan sebutan yang terhormat di ibu kota negeri dongeng.
Penulis tidak faham batu sandungan saat ini disadari untuk menjadi perenungan atau hatinya sudah di selimuti titik hitam sehingga masih ingin terlihat jumawa. Padahal, jika mendengar dongeng dan bisik-bisik tetangga, bagaimana sang sahabat ini mempermainkan kaum hawa. Dia perlakukan kaum hawa seperti orang mau beli sepatu, “Dicoba sana sini, beli kagak”
Kini Tuhan sedang menunjukan kekuasaannya dan mempertontonkan kelemahan makhluk-Nya. Jangan mengira Tuhan membiarkan dengan yang kita miliki dan genggam. Sebab, tak ada milik kita baik harta maupun kedudukan mutlak bisa dikuasai. Kurang apa kekuasaan dan kekayaan Napoleon Bonaparte. Tapi, runtuh dan jadi runtah hanya oleh seorang perempuan. Semoga, sahabat penulis – andai masih diakui dan mengakui sebagai sahabat – ini tidak sampai runtuh apalagi jadi runtah. Naudzubillah min dzalik. “Kami berlindung kepada Allah dari perkara itu“. Wassalam.
- Penulis adalah wartawan