TrendPurwakarta.com – Purwakarta bergemuruh. Nada irama puluhan beduk dan alunan merdu takbir lebaran bersahutan dengan indah membahana dan menggema hingga ke seantero sudut-sudut kota. Kemegahan dan kemeriahan suasana malam takbiran itu demikan kuat terasa.
Suasana itulah yang sangat terasa dan terlihat nyata dalam Festival Dulag (dalam bahasa Indonesia disebu beduk) Warisan Nusantara menyambut Hari Raya Idul Fitri 1444 H, Jumat malam, 21 April 2023.
Acara yang dipusatkan di Alun-alun Pasanggrahan Padjajaran di Komplek Pemda Purwakarta itu berhasil menyedot antusiasme ribuan warga masyarakat yang datang dari pelosok Purwakarta dan daerah lain sekitarnya. Rintik hujan yang turun tak mampu menyurutkan mereka hingga akhir acara.
Ratusan peserta festival silih berganti mempertontonkan atraksinya. Berbagai keahlian menabuh beduk demikian enerjik dalam mengiringi takbir dengan lengkingan suara berirama syahdu dan merdu. Harmoni yang indah tercipta, menyemarakan malam takbiran yang luar biasa, membuat sumringah dan riang gembira warga Purwakarta.
Festival yang dibuka langsung Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika itu menghadirkan banyak atraksi berkesenian yang mempesona. Para peserta mempersiapkan diri dengan berbagai koreografi dan kostum yang indah dan enak dipandang mata.
Secara rutin Pemkab Purwakarta memang selalu memeriahkan malam takbiran dengan beduk dan takbir melalui festivalnya. Apalagi beduk sangat berjasa terhadap penyebaran Islam melalui proses akulturisasi budaya.
“Festival Dulag kami selenggarakan selain sebagai ikhtiar menyemarakan malam takbiran lebaran, juga sekaligus sebagai ajang silaturahmi masyarakat dan tangung jawab kita melestarikan beduk sebagai warisan nusantara yang berjasa besar dalam syiar agama Islam,” kata Bupati Anne disela-sela festival tersebut.
Kisah kehadiran beduk itu sendiri di jagat nusantara terbagi dalam sejumlah versi. Salah satunya adalah versi beduk yang saat ini dikenal luas awalnya merupakan pemberian Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok saat masuk ke Nusantara melalui Semarang pada abad 15.
Versi lain dari awal populernya beduk di tanah nusantara adalah berkat ide dari kejeniusan Sunan Kalijaga, yang mengakulturasi beduk sebagai produk budaya dari India dan Cina itu untuk digunakan memanggil orang untuk salat.
Saat itu, jika panggilan waktu salat hanya mengandalkan suara azan maka jangkauan suaranya kurang terdengar secara lebih luas, karena meski ada masjid di Abad 15 namun teknologi pengeras suara belum ada.
“Beduk menjadi pilihan yang sangat cerdas sekaligus berseni tinggi. Tradisi yang diwariskan dari Kanjeng Sunan Kaijaga itu sudah seharusnya kita rawat dan kita jaga dengan baik. Ini harus jadi tanggungjawab kita bersama. Pemkab Purwakarta mencoba ikut membantu mefasilitasinya lewat festival ini,” kaa Anne.