Kepsek SMK Taruna Sakti: Garap Anak Punk, Mereka Juga Punya Hak Yang Sama Untuk Mendapatkan Pendidikan

Kepala Sekolah SMK Taruna Sakti

TrendPurwakarta.com – Apa yang terlintas dalam benak anda ketika mendengar atau menyaksikan dijalanan ada anak yang menamakan diri anak punk? Biasanya mereka punya ciri khas sendiri, bergerombol dengan pakaian kumal dan robek, bertato, dianting, pakai rantai dicelana. Ada juga yang pakai motor dengan puluhan ban menempel dan berbagai asesori barang bekas.

Tentu, stigma langsung diarahkan kepada mereka sebagai anak tidak punya masa depan, urakan, tidak punya tatakrama, pembuat onar dan tidak punya nilai. Tapi apakah anda tahu, bahwa keberadaan mereka melakukan itu banyak faktor yang harus diselusuri kondisi sosial, kejiwaan dan harapan mereka.

Untuk mendapat jawaban pertanyaan diatas, wartawan media ini mewawancarai seorang Kepala Sekolah yang punya kepedulian tinggi terhadap mereka (anak punk dimaksud-red). Pak Kepsek – sebutannya di sekolah – ini menjabat disekolah swasta yang berlokasi tak jauh dari jalan pertigaan Sadang arah masuk dan keluar jalan Tol Sadang – Jakarta.  Sang Kepsek ini, sudah melakukan observasi lapangan keberadaan anak punk disekitar Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Karawang.

Pak Kepsek ini bernama Yayang Gilang Sonjaya, SE., M.M., AK. Dia memimpin di Sekolah Menengah Kejuruan Taruna Sakti yang terkenal di Kabupaten Purwakarta dengan sebutan SMK TASA.

Kepsek SMK Tasa Bersama anak punk

Berikut petikan wawancaranya:

T: Inisiatif mengumpulkan anak Punk dan berani berkorban untuk menyekolahkan gratis mereka bagaimana cerita awalnya?.

J: Yang namanya pendidikan itu kan bersifat universal dan menyeluruh. Yang pertama dan hak bagi seluruh warga negara Indonesia.  Bahwa pendidikan itu bukan hanya milik warga miskin dan warga kaya saja, tapi seluruhnya pun berhak mau dia tato-an mau dia mantan preman mau dia orang yang biasa-biasa saja itu adalah hak semua orang. Pendidikan itu melahirkan sebuah generasi sosial yang harus dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Salah satunya adalah anak punk. Mereka bisa seperti itu karena tidak ada keterpihakan dan perhatian yang lebih sehingga cenderung termajinalkan dari status masyarakat.  Ini memerlukan sebuah penanganan khusus. Sekarang mereka bertato, dianting, di tindik gak ada sekolah yang mau menerima mereka. Alasannya kenapa ? karena sekolahnnya harus bersikap seperti formal. Makanya saya berinisiatif tolong kumpulkan seluruh anak punk yang ada di Purwakarta yang memiliki ijazah SMP tapi tidak bisa sekolah ke SMA maupun SMK lain kita sekolahkan disini (SMK TASA-red) dengan system PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh). Kelasnya industri sosial kemasyarakatan. Nah program ini juga nanti akan diintegrasikan ketika berbicara SMK dengan dunia industri yang mau menerima magang mereka minimal magang mereka itu ke wirausahaan. Mereka dimagangkan dengan proses pembuatan produk kewirausahaan, networking. bagamaimana mereka membina proses potensi itu sehingga mereka menjadi perubahan nasibnya terjadi disana.

T: Apakah ini juga merupakan upaya menekan dan meminimalisir efek kejahatan?

J: Iya betul.  Memang harus kita siapkan. Hari ini banyak sekali masyarakat yang memarjinalkan. Disangkanya mereka (anak punk) seram, kriminal. Tapi ketika saya tanya mereka hapal rukun islam, mereka hapal Pancasila, mereka juga punya cita-cita. Cuma tampang aja serem. Saya sampaikan kepada mereka, kalian itu harus sekolah. Gak perlu anggaran besar, pemerintah sudah menyiapkan, dana bos dan dana lainnya, tinggal kita mau tidak sebagai lembaga pendidikan menampung mereka agar bermanfaat dan bermartabat tersalurkan proses pendidikan. Mereka mau kuliah mau bekerja, agar tidak hanya jadi pengamen saja, preman saja, tidak jadi anak punk saja. Tapi anak yang memiliki kreatifitas di organisasi yang bernama punk. Jadi kedepan kalau mereka sudah disekolahkan menjadi punk lebih syari’ah.

T: Hasil penulusuran anda, apakah yang menyebakan mereka “terjerumus” menjadi anak punk?

J: Rata-rata faktor ekonomi, terus faktor sosial keluarga, dimana ada keluarganya juga yang bermasalah, brokenhome tidak dianggap oleh keluarga inti maupun keluarga lainnya sehingga mereka menjalani sebagai anak punk sehingga menjadi anak yang tidak berestetika hingga terjadilah sebuah pengelompokan